Itu hanya satu contoh kecil. Contoh lain yang bahkan lebih menyakitkan adalah isu perkosaan massal terhadap wanita-wanita keturunan Cina pada saat kerusuhan 13 - 14 Mei 1998. Isu ini merebak terutama lewat internet. Ummat Islam Indonesia betul-betul menjadi tertuduh, karena katanya para pemerkosa berteriak "Allahu Akbar" dan "Bantai Cina". Media massa dalam dan luar negeri yang pro barat turut menyemarakkan berita ini. Sejumlah harian, majalah dan tabloid di Indonesia seperti berlomba-lomba memuat kisah 'para korban' dengan cerita yang mengharu biru, dramatis. Seolah-olah ummat Islam Indonesia begitu biadab, ganas dan tak bermoral.
Seorang muslim telah diajarkan oleh Al-Qur'an untuk selalu bertabayun (check & recheck) terhadap berita-berita yang tidak jelas kebenarannya. Termasuk untuk kasus perkosaan massal ini. Namun bukan berarti kita mengingkari mentah-mentah cerita pemerkosaan itu. Dalam keadaan yang kacau balau dan tidak terkendali seperti pada kerusuhan Mei, tidak mustahil terjadi pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum-oknum tak bermoral. Apalagi mereka membawa-bawa simbol Islam. Rasanya para pelaku pemerkosaan dan penyebar beritanya memang setali tiga uang, yaitu memiliki tujuan buruk terhadap Islam.
Memang belakangan tuduhan terhadap ummat Islam ini mulai diragukan keshahihannya. Apalagi foto-foto yang ditayangkan lewat internet serta yang dipamerkan di Singapura - yang katanya foto-foto wanita korban pemerkosaan itu - sudah jelas-jelas hasil rekayasa digital. Begitu pula data yang disodorkan tim relawan pimpinan Pastor Sandy, yang menyebutkan 168 wanita Cina diperkosa dan 20 diantaranya tewas, ternyata tak terbukti kebenarannya. Namun, citra negatif terhadap kaum muslimin Indonesia khususnya dan Islam umumnya, seperti yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam, sudah terbentuk. Seseorang menulis surat kepada Majalah Sabili, menceritakan bahwa kakaknya yang non-muslim jadi begitu membenci Islam gara-gara termakan berita tersebut. Bahkan tak kurang dari Kabakin (Kepala Badan Koordinasi Intelejen Negara) menyatakan bahwa berita pemerkosaan massal itu penuh dengan muatan politis.
Sekarang bandingkan dengan pemerkosaan yang menimpa wanita-wanita Aceh pada saat di daerah itu diberlakukan DOM (Daerah Operasi Militer) tahun 1989-1998. Meskipun sudah nyata terbukti kebenarannya, apakah media massa memberitakannya secara besar-besaran ? Hanya media massa berbasis Islam saja yang mengeksposnya, sedang sebagian besar dan justru mereka ini yang menguasai jaringan media, tidak memberitakannya secara proporsional. Bandingkan pula dengan kasus Lampung 1989, di mana ratusan anak-anak dan ibu muda berjilbab tewas akibat kekejian tentara. Adakah LSM yang tergerak untuk membentuk tim relawan ? Mustahil. Sebab dua contoh kasus ini penuh dengan nuansa Islam. Mana ada LSM yang mau, jangan-jangan nanti kucuran dana dari negara barat yang selama ini mereka terima akan distop. LSM lebih suka mengangkat kasus yang ummat Islamnya jadi tertuduh dan media massa akan membesar-besarkan beritanya dengan senang hati. Ini bisa terjadi karena banyak dari anggota LSM itu yang berperan sekaligus sebagai wartawan. Jadi, ada semacam konspirasi antara LSM dan media massa. Fenomena ini disebut oleh seorang cendekiawan Musim sebagai, "Ketidakadilan internasional yang terpraktekkan dalam konteks nasional".
Ketidakadilan internasional, dua kata ini bisa jadi sedang menimpa ummat Islam Indonesia dan ummat Islam dari belahan dunia lainnya. Ada semajam jaringan internasional yang ingin melemahkan, memojokkan atau malah menghilangkan peran dan posisi ummat Islam Indonesia. Kuatnya tekanan negara-negara barat agar pemerintah Indonesia membebaskan tahanan politik / narapidana politik semacam Xanana Gusmao, Budiman Sudjatmiko, Muchtar Pakpahan serta Sri Bintang, dan di saat yang sama mengabaikan tapol / napol kasus Islam, adalah contoh nyata. Bila pemerintah tidak mau menuruti kehendak mereka, maka tekanan itu akan dikait-kaitkan dengan bantuan ekonomi atau pelanggaran HAM. Sementara pelanggaran HAM yang menimpa ummat Islam Indonesia sama sekali tidak dilirik oleh barat. Tidak keliru bila diasumsikan bahwa sikap pemerintah yang begitu cepat menangani pembebasan Pius dkk lebih disebabkan oleh niat 'cari muka' kepada barat, khususnya negara potensial pemberi donor. Sedangkan untuk kasus yang berbau Islam seperti tragedi Priok, keengganan pemerintah serta ABRI dalam menanganinya bukan sekedar karena barat tidak berminat, namun juga karena pemerintah dan ABRI sendiri belum dapat menghilangkan alergi terhadap Islam.
Yang lebih menyakitkan, konspirasi ini dibantu oleh sejumlah tokoh muslim yang notabene dibesarkan dalam tradisi organisasi islam. Dalam sebuah diskusi, sang tokoh pernah menjelek-jelekkan dan menyalahkan orang Islam, seraya memuji etnis tertentu yang kebanyakan bukan muslim. Media massa tentu saja melahap ucapan ini dan mempublikasikannya. Menurut Amien Rais, ini adalah bagian dari konspirasi yang sangat jelas. Bahkan Jalaluddin Rakhmat, pakar komunikasi yang terang-terangan mengaku sebagai panganut Syi'ah, juga meyakini hal ini. Menurutnya, itulah strategi pelecehan terhadap Islam sekarang ini : menggunakan Muslim untuk menyerang Islam. Sedangkan menurut Syu'bah Asa, pelecehan dan konspirasi memojokkan Islam terjadi karena ummat Islam sendiri kurang memberi counter terhadap hal tersebut.
Diringkas dan diedit ulang dari Majalah Sabili
Tidak ada komentar:
Posting Komentar