Selasa, 13 Maret 2012

pentingnya pedidikan kewarganegaraan bagi mahasiswa


  BAG. 1

                                 Pendahuluan

A.  PENGANTAR  

1.Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia  telah menempuh perjalanan  panjang, dimulai dari masa sebelum dan selama pen­jajahan, dilanjutkan dengan era merebut dan mempertahankan kemerdekaan hingga mengisi kemerdekaan. Masing-masing tahap tersebut melahirkan tantangan jaman yang berbeda sesuai dengan kondisi dan tuntutan jamannya. Tantangan jaman itu ditanggapi bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai perjuangan bangsa, yang dilandasi dengan jiwa dan tekad kebangsaan. Kesemuanya itu  tumbuh dan berkembang  menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam wadah Nusantara.
Di era revolusi fisik, semangat perjuangan bangsa yang tidak kenal menyerah, yang hakekatnya merupakan kekuatan mental spiritual bangsa telah melahirkan perilaku heroik dan patriotik, serta menumbuhkan kekuatan, kesanggupan dan kemauan yang luar biasa. Idealnya,  dalam situasi dan kondisi apapun semangat juang itu hendaknya  tetap dimiliki oleh setiap warganegara NKRI. Di samping sudah terbukti keandalannya, nilai-nilai tersebut terbukti masih relevan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan ber­masyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun demikian sebagai fenomena  sosial, nilai-nilai itupun mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika kehidupan nasional.
         Seperti diketahui, seusai Perang Dunia II (1939-1945) dunia diwarnai oleh suasana Perang Dingin (Cold War) antara Blok Barat yang dipelopori oleh Amerika Serikat (AS) dan Blok Timur yang dimotori oleh Uni Sovyet (US), dan itu berlangsung selama hampir setengah abad1).
Menjelang akhir abad 20 situasi politik dunia berubah secara drastis. Tahun 1989 Tembok Berlin, lambang terpisahnya blok Barat dan Timur runtuh, disusul bubarnya Uni Sovyet.  Konstelasi politik duniapun berubah. Perang Dingin berakhir secara mendadak, di luar perhitungan pihak yang bertikai. Akibatnya, di satu sisi dunia dilanda kevakuman, baik dalam konsep, strategi maupun kepemim­pinan politik, sementara di sisi lain muncul tuntutan masyarakat dunia akan adanya Tata Dunia Baru yang aman, sejahtera dan lebih berkemanusiaan.
Perubahan yang begitu mendadak itu membuat  Washington terjebak pada situasi kehilangan pegangan dan pedoman dalam mengarahkan perubahan mondialnya. Untuk merubah dari strategi konfrontasi ke  rekonsiliasi bukanlah hal yang mudah dan tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, sementara tuntutan dunia terhadap adanya Tata Dunia Baru terus mendesak.
Di tengah keterdesakan dan ketiadaan konsep tersebut AS selaku pemenang dan adikuasa tunggal nampaknya hanya mengambil jalan mudahnya. AS menganggap bahwa runtuhnya Tembok Berlin sebagai pertanda bahwa dunia tidak lagi bersekat, ditambah lagi adanya gejala meluasnya nilai-nilai bercirikan global. Bertolak dari fenomena tersebut maka AS mulai memperkenalkan apa yang sekarang dikenal sebagai “globalisasi”, yang sebenarnya bukan konsep baru yang diharapkan untuk mengisi kevakuman dunia.
Pada hakekatnya proses yang mengandung ciri penduniaan itu telah melanda dunia jauh sebelum Perang Dingin usai. Hanya saja, selama ini para pengamat tidak menaruh perhatian karena  dianggap bukan sebagai gejala yang penting. Gejala awal terlihat dari mendunianya penye­baran jenis-jenis makanan tertentu, tingkah laku orang-orang perkotaan (metropolitan) dan meluasnya penerimaan terhadap mode pakaian dan tata rias. Semua itu mengarus dari masya­rakat dunia industri maju ke bagian dunia yang lain, didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan sistim komunikasi telemedia (Soerjanto, 1994:26-29).
Cepatnya komunikasi lewat teknologi elektronika membuat penyebaran informasi berjalan singkat dan  melampaui batas negara. Peristiwa di satu titik di muka bumi dalam waktu sekejap dapat diketahui oleh seluruh penjuru dunia. Orangpun mulai merasa bahwa dunia semakin “sempit”. Kemajuan IPTEK bidang informasi, komunikasi dan trans­portasi telah membuat dunia menjadi semakin transparan. Tidak ada lagi batas atau sekat antara bagian dunia yang satu dengan bagian yang lain, sehingga seolah-olah  terbentuk kampung sedunia tanpa mengenal batas negara.  
Namun demikian, hingga sedemikian jauh orang belum berbicara tentang globalisasi. Istilah “globalisasi” baru muncul setelah Perang Dingin usai. Ketika itu para politisi dan ilmuwan berlomba mengumandangkan istilah tersebut dengan interpretasi dan pemahaman sesuai tujuan masing-masing. Yang terjadi kemudian ialah paduan suara sejagad mendendangkan globalisasi.
Situasi jadi makin tambah semarak setelah AS sebagai pemenang dalam Perang Dingin dan secara psikologis merasa sebagai pihak yang berhak mengatur dunia, mulai gencar meng­kampanye­kan konsep globalisasi. Dengan dukungan negara-negara Barat, Washington mulai memaksakan “pembaharuan” melalui penerapan HAM, demokrasi dan sistim pasar bebas kepada negara-negara berkembang.
Ironisnya, di saat umat manusia yang telah muak dengan konfrontasi, peng­­gunaan kekerasan dan segala bentuk pemaksaan serta per­musuhan, menuntut dan mendambakan suatu tatanan Dunia Baru yang lebih menjamin kebebasan, kemanusiaan dan kesejahteraan, kenyataannya  justeru dihadapkan pada situasi  yang  makin tidak menentu.  AS yang selalu menepuk dada sebagai pelaku perdagangan bebas dan fair,   kadang bersikap kontroversial. Ini terbukti dari adanya pembentukan trade block,  seperti NAFTA bersama Kanada dan Meksiko, AFTA dan lain-lain, dan adanya berbagai ketentuan yang sifatnya protek­sionistis. Selain itu  AS yang selama  Perang Dingin selalu mengu­man­dangkan semboyan demokrasi dan kebebasan bagi bangsa-bangsa untuk nasib mereka sendiri, di sisi lain justeru  sering memaksa­kan kehendak dan mengetrapkan standar ganda. Ini terlihat dari perlakuannya terhadap Eropa Barat, Israel, Jepang, negara-negara Dunia Ketiga dan negara-negara eks Komunis.
Pertanyaannya ialah apakah “pembaharuan” model AS  itu benar-benar memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan aspirasi  masyarakat dunia ? Masalahnya setiap bangsa memiliki latar belakang sejarah dan budayanya sendiri. Padahal pembaharuan tanpa konsep yang jelas yang didasarkan pada kondisi dan situasi kultural, sosial dan politik serta sejarah bangsa yang bersangkutan justeru akan membuka peluang munculnya disintegrasi nasional. Pergolakan berdarah yang berlarut-larut di sejumlah negara Afrika, disintegrasi yang melanda Uni Sovyet dan Yugoslavia  menjadi contoh yang baik dalam kasus ini.    
Permasalahan lain, perkembangan globalisasi juga ditandai dengan kuatnya pengaruh lembaga-lembaga kemasyarakatan internasional dan campur tangan negara-negara maju dalam per­caturan politik, ekonomi, sosial-budaya dan militer global. Pada gilirannya hal itu tentu akan menimbulkan berbagai konflik kepentingan, baik antara sesama negara maju, negara maju dengan negara berkembang, sesama negara berkembang maupun antar lembaga-lembaga internasional. Lebih buruk lagi, isu globalisasi, yakni HAM, demokrasi, liberalisasi dan lingkungan hidup, juga sering digunakan oleh negara-negara maju untuk menyudutkan dan men­diskreditkan bangsa dan negara lain, khususnya negara-negara berkembang.
Ancaman lebih besar ialah bahwa globalisasi juga menciptakan struktur baru, yaitu struktur global, yaitu itu mem­pengaruhi struktur kehidupan, pola pikir, sikap dan tindakan masyarakat. Dengan kata lain globalisasi akan mempengaruhi kondisi mental spiritual bangsa. Walaupun sementara  orang menganggap bahwa  globalisasi adalah konsep “semu” sekedar pengisi kevakuman dunia pasca Perang Dingin (Cold War), akan tetapi kehadirannya menjadi sesuatu yang tak terelakkan. 
Untuk Indonesia, saat ini negara dan bangsa dihadapkan pada tiga permasalahan pokok, yaitu pertama, tantangan dan pusaran arus global­isasi; kedua,  masalah internal, seperti KKN, “destabil­isasi”, separatisme, teror dan sebagainya, dan ketiga, bagaimana menjaga agar “roh” reformasi tetap berjalan pada relnya. Atas dasar itu maka perlu ada langkah-langkah strategis, yaitu : pertama, reformasi sistem yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar dan perangkat legal sistem politik; kedua, reformasi kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik, dan  ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik yang lebih demokratis dan tertanamnya komitmen untuk lebih baik.
Apabila yang pertama dan kedua lebih didominasi oleh eksekutif dan legislatif, yang ketiga harus dilakukan oleh seluruh segmen masyarakat mulai dari rakyat awam hingga elit politik. Pemberdayaan ini mesti dilakukan secara massal, berkesi­nambungan dan dalam bingkai paradigma yang jelas. Adapun media yang dianggap kondusif untuk mencapai sasaran itu salah satunya ialah melalui pembelajaran civic education (pendidikan kewarga­negaraan). Di tingkat perguruan tinggi, nilai strategis dari pembe­lajaran ini ialah meningkatnya kesadaran komprehensif mahasiswa terhadap masalah bangsa. Pada gilirannya hal itu akan berujung pada  keterlibatan (partisipasi efektif) dan tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab untuk memperbaiki kualitas kehidupan sosial dan politik secara keseluruhan.

  1. BAG I        :  PENDAHULUAN (a.Latar Belakang & tujuan )
  2. BAG II       :  ISI/PEMBAHASAN
  3. BAG III      :  PENUTUP (Kesimpulan dan Saran )
  4. BAG IV     :   DAFTAR PUSTAKA
B . Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan
.Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan, kemudian dilanjutkan dengan era perebutan dan mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian kemerdekaan menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan jamannya.
            Kondisi dan tuntutan yang berbeda tersebut ditanggapi oleh Bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai–nilai  perjuangan bangsa yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Kesamaan nilai–nilai ini dilandasi oleh jiwa, tekad, dan semangat kebangsaan. Kesemuanya itu tumbuh menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam wadah Nusantara.
                        Semangat perjuangan bangsa yang telah ditunjukkan pada kemerdekaan 17 Agustus 1945 tersebut dilandasi oleh keimanan serta ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan keikhlasan untuk berkorban. Landasan perjuangan tersebut merupakan nilai–nilai perjuangan Bangsa Indonesia. Semangat inilah yang harus dimiliki oleh setiap warga negara Republik Indonesia. Selain itu nilai–nilai perjuangan bangsa masih relevan dalam memecahkan setiap permasalahan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta terbukti keandalannya.
Tetapi nilai–nilai perjuangan itu kini telah mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semangat perjuangan bangsa telah mengalami penurunan pada titik yang kritis. Hal ini disebabkan antara lain oleh pengaruh globalisasi.
            Globalisasi ditandai oleh kuatnya pengaruh lembaga–lembaga kemasyarakatan internasional, negara–negara maju yang ikut mengatur percaturan politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan global. Disamping itu, isu global yang meliputi demokratisasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup turut pula mempengaruhi keadaan nasional.
            Globalisasi juga ditandai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dibidang informasi, komunikasi, dan transportasi. Hingga membuat dunia menjadi transparan seolah–olah menjadi sebuah kampung tanpa mengenal batas negara.
            Semangat perjuangan bangsa ynag merupakan kekuatan mental spiritual telah melahirkan kekuatan yang luar biasa dalam masa perjuangan fisik. Sedangkan dalam era globalisasi dan masa yang akan datang kita memerlukan perjuangan non fisik sesuai dengan bidang profesi masing–masing. Perjuangan non fisik ini memerlukan sarana kegiatan pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia pada umumnya dan mahasiswa sebagai calon cendikiawan pada khususnya, yaitu melalui Pendidikan Kewarganegaraan .
 Masyarakat dan pemerintah suatu negara berupaya untuk menjamin kelangsungan hidup serta kehidupan generasi penerusnya secara berguna (berkaitan dengan kemampuan spiritual) dan bermakna (berkaitan dengan kemampuan kognotif  dan psikomotorik). Generasi penerus melalui pendidikan kewarganegaraan diharapkan akan mampu mengantisipasi hari depan yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, negara, dan hubungan internasional serta memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap dan perilaku sebagai pola tindak yang cinta tanah air berdasarkan Pancasila. Semua itu diperlakukan demi tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Tujuan utama pendidikan kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa, wawasan nusantara, serta ketahanan nasional dalam diri para mahasiswa calon sarjana/ilmuwan warga negara Republik Indonesia yang sedang mengkaji dan akan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni.
Berkaitan dengan pengembangan nilai, sikap, dan kepribadian diperlukan pembekalan kepada peserta didik di Indonesia yang dilakukan melalui Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar, dan Ilmu Alamiah Dasar  (sebagai aplikasi nilai dalam kehidupan)  yang disebut kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) dalam komponen kurikulum perguruan tinggi.
Setiap warga negara Republik Indonesia harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang merupakan misi atau tanggung jawab Pendidikan Kewarganegaraan untuk menumbuhkan wawasan warga negara dalam hal persahabatan, pengertian antar bangsa, perdamaian dunia, kesadaran bela negara, dan sikap serta perilaku yang bersendikan nilai–nilai budaya bangsa .
Hak dan kewajiban warga negara, terutama kesadaran bela negara akan terwujud dalam sikap dan perilakunya bila ia dapat merasakan bahwa konsepsi demokrasi dan hak asasi manusia sungguh–sungguh merupakan sesuatu yang paling sesuai dengan kehidupannya sehari–hari.
Rakyat Indonesia, melalui MPR menyatakan bahwa :  Pendidikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia diarahkan untuk “meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas mandiri, sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa “.
Selain itu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berbudi luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif. Terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.
Undang–Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum dan isi pendidikan yang memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan terus ditingkatkan dan dikembangkan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Kompetensi diartikan sebagai perangkat tindakan cerdas, penuh rasa tanggung jawab yang harus dimiliki oleh seseorang agar ia mampu melaksanakan tugas–tugas dalam bidang pekerjaan tertentu.
Kompetensi lulusan Pendidikan Kewarganegaraan adalah seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab dari seorang warga negara dalam berhubungan dengan negara, dan memecahkan berbagai masalah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan menerapkan konsepsi falsafah bangsa, wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
Pendidikan Kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh rasa tanggung jawab dari peserta didik. Sikap ini disertai dengan perilaku yang :
1.    Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menghayati nilai–nilai falsafah bangsa
2.    Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3.    Rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
4.    Bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela negara.
5.    Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan negara.
Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, warga negara Republik Indonesia diharapkan mampu “memahami, menganalisa, dan menjawab masalah–masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negaranya secara konsisten dan berkesinambungan dengan cita–cita dan tujuan nasional seperti yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 “.
Dalam perjuangan non fisik, harus tetap memegang teguh nilai–nilai ini disemua aspek kehidupan, khususnya untuk memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, kolusi, dan nepotisme; menguasai IPTEK, meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar memiliki daya saing; memelihara serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; dan berpikir obyektif rasional serta mandiri.
 C. Pengertian Dan Pemahaman Tentang Bangsa Dan Negara .
 
         Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Bangsa adalah orang–orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarah serta berpemerintahan sendiri. Atau bisa diartikan sebagai kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan wilayah tertentu dimuka bumi.
Jadi Bangsa Indonesia adalah sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan yang sama dan menyatakan dirinya sebagai satu bangsa serta berproses di dalam satu wilayah Nusantara/Indonesia.
Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang sama–sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengetahui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tersebut.
Atau bisa diartikan sebagai satu perserikatan yang melaksanakan satu pemerintahan melalui hukum yang mengikat masyarakat dengan kekuasaan untuk memaksa bagi ketertiban sosial.

                        1. Teori terbentuknya negara
a.   Teori Hukum Alam  (Plato dan Aristoteles).
      Kondisi Alam => Berkembang Manusia => Tumbuh Negara.
b.   Teori Ketuhanan
      Segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan, termasuk adanya negara.
c.   Teori Perjanjian (Thomas Hobbes)
Manusia menghadapi kondisi alam dan timbullah kekerasan, manusia akan musnah bila ia tidak mengubah cara–caranya. Manusia pun bersatu (membentuk negara) untuk mengatasi tantangan dan menggunakan persatuan dalam gerak tunggal untuk kebutuhan bersama.
Di dalam prakteknya, terbentuknya negara dapat pula disebabkan karena :
a.   Penaklukan.
b.   Peleburan.
c.   Pemisahan diri
d.    Pendudukan atas negara/wilayah yang belum ada pemerintahannya.

2. Unsur Negara
a.    Konstitutif.
      Negara meliputi wilayah udara, darat, dan perairan (unsur perairan tidak mutlak), rakyat atau masyarakat, dan pemerintahan yang berdaulat
b.    Deklaratif.
      Negara mempunyai tujuan, undang–undang dasar, pengakuan dari negara lain baik secara de jure dan de facto dan ikut dalam perhimpunan bangsa–bangsa, misalnya PBB.

3. Bentuk Negara
a. Negara kesatuan
                                 1. Negara Kesatuan dengan sistem sentralisasi
                                 2. Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi
b. Negara serikat,  di dalam negara ada negara yaitu negara bagian.
                               
D . Negara Dan Warga Negara Dalam Sistem Kenegaraan Di  Indonesia
          Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berdaulat yang mendapatkan pengakuan dari dunia internasional dan menjadi anggota PBB. Dan mempunyai kedudukan dan kewajiban yang sama dengan negara–negara lain di dunia, yaitu ikut serta memelihara dan menjaga perdamaian dunia. Dalam UUD 1945 telah diatur tentang kewajiban negara terhadap warga negaranya, juga tentang hak dan kewajiban warga negara kepada negaranya. Negara wajib memberikan kesejahteraan hidup dan keamanan lahir batin sesuai dengan sistem demokrasi yang dianutnya serta melindungi hak asasi warganya sebagai manusia secara individual berdasarkan ketentuan yang berlaku yang dibatasi oleh ketentuan agama, etika moral, dan budaya yang berlaku di Indonesia dan oleh sistem kenegaraan yang digunakan.

1. Proses Bangsa Yang Menegara
Proses bangsa yang menegara memberikan gambaran tentang bagimana terbentuknya bangsa dimana sekelompok manusia yang berada didalamnya merasa sebagai bagian dari bangsa. Bangsa yang berbudaya, artinya bangsa yang mau melaksanakan hubungan dengan penciptanya (Tuhan) disebut agama ; bangsa yang mau berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disebut ekonomi; bangsa yang mau berhubungan dengan lingkungan sesama dan alam sekitarnya disebut sosial; bangsa yang mau berhubungan dengan kekuasaan disebut politik; bangsa yang mau hidup aman tenteram dan sejahtera dalam negara disebut pertahanan dan keamanan.
Di Indonesia proses menegara telah dimulai sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, dan terjadinya Negara Indonesia merupakan suatu proses atau rangkaian tahap–tahapnya yang berkesinambungan. Secara ringkas, proses tersebut adalah sebagai berikut :
a.    Perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia.
b.    Proklamasi atau pintu gerbang kemerdekaan.
c.    Keadaan bernegara yang nilai–nilai dasarnya ialah merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Bangsa Indonesia menerjemahkan secara terperinci perkembangan teori kenegaraan tentang terjadinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai berikut :
a.    Perjuangan kemerdekaan.
b.    Proklamasi
c.    Adanya pemerintahan, wilayah dan bangsa
d.    Pembangunan Negara Indonesia
e.    Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Proses bangsa yang menegara di Indonesia diawali adanya pengakuan yang sama atas kebenaran hakiki kesejarahan. Kebenaran hakiki dan kesejarahan yang dimaksud adalah :
a.    Kebenaran yang berasal dari Tuhan pencipta alam semesta yakni; Ke-Esa-an Tuhan; Manusia harus beradab; Manusia harus bersatu; Manusia harus memiliki hubungan sosial dengan lainnya serta mempunyai nilai keadilan; Kekuasaan didunia adalah kekuasaan manusia.
b.    Kesejarahan. Sejarah adalah salah satu dasar yang tidak dapat ditinggalkan karena merupakan bukti otentik sehingga kita akan mengetahui dan memahami proses terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai hasil perjuangan bangsa.
Pendidikan pendahuluan bela negara adalah kesamaan pandangan bagi landasan visional (wawasan nusantara) dan landasan konsepsional (ketahanan nasional) yang disampaikan melalui pendidikan, lingkungan pekerjaan dan lingkungan masyarakat.

2. Pemahaman Hak Dan Kewajiban Warga Negara
a. Hak warga negara.
Hak–hak asasi manusia dan warga negara menurut UUD 1945 mencakup :
                        - Hak untuk menjadi warga negara (pasal 26)
- Hak atas kedudukan yang sama dalam hukum (pasal 27 ayat 1)
      - Hak atas persamaan kedudukan dalam pemerintahan (pasal 27
ayat 1)
- Hak atas penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2)
- Hak bela negara (pasal 27 ayat 3)
- Hak untuk hidup (pasal 28 A)
- Hak membentuk keluarga (pasal 28 B ayat 1)
- Hak atas kelangsungan hidup dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi bagi anak (pasal 28 B ayat 2)
- Hak pemenuhan kebutuhan dasar (pasal 28 C ayat 1)
- Hak untuk memajukan diri (pasal 28 C ayat 2)
- Hak memperoleh keadilan hukum (pasal 28 d ayat 1)
- Hak untuk bekerja dan imbalan yang adil (pasal 28 D ayat 2)
- Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (pasal 28 D ayat 3)
- Hak atas status kewarganegaraan (pasal 28 D ayat 4)
- Kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali (pasal 28 E ayat 1)
- Hak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai denga hati nuraninya (pasal 28 E ayat 2)
- Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (pasal 28 E ayat 3)
- Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (pasal 28 F)
- Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda (pasal 28 G ayat 1)
- Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia (pasal 28 G ayat 2)
- Hak memperoleh suaka politik dari negara lain (pasal 28 G ayat 2)
-    Hak hidup sejahtera lahir dan batin (pasal 28 H ayat 1)
-    Hak mendapat kemudahan dan memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama (pasal 28 H ayat 2)
- Hak atas jaminan sosial (pasal 28 H ayat 3)
- Hak milik pribadi (pasal 28 H ayat 4)
- Hak untuk tidak diperbudak (pasal 28 I ayat 1)
- Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (pasal 28 I ayat 1)
- Hak bebas dari perlakuan diskriminatif (pasal 28 I ayat 2)
- Hak atas identitas budaya (pasal 28 I ayat 3)
                        - Hak kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan (pasal 28)
- Hak atas kebebasan beragama (pasal 29)
- Hak pertahanan dan keamanan  negara (pasal 30 ayat 1)
-    Hak mendapat pendidikan (pasal 31 ayat 1)

b. Kewajiban warga negara antara lain :
- Melaksanakan aturan hukum.
- Menghargai hak orang lain.
- Memiliki informasi dan perhatian terhadap kebutuhan–kebutuhan masyarakatnya.
- Melakukan kontrol terhadap para pemimpin dalam melakukan tugas–tugasnya
- Melakukan komuniksai dengan para wakil di sekolah, pemerintah lokal dan pemerintah nasional.
- Membayar pajak
- Menjadi saksi di pengadilan
-    Bersedia untuk mengikuti wajib militer dan lain–lain.

c. Tanggung jawab warga negara
Tanggung jawab warga negara merupakan pelaksanaan hak (right) dan kewajiban (duty) sebagai warga negara dan bersedia menanggung akibat atas pelaksanaannya tersebut.
Bentuk tanggung jawab warga negara :
- Mewujudkan kepentingan nasional
- Ikut terlibat dalam memecahkan masalah–masalah bangsa
- Mengembangkan kehidupan masyarakat ke depan (lingkungan kelembagaan)
-    Memelihara dan memperbaiki demokrasi

d. Peran warga negara
- Ikut berpartisipasi untuk mempengaruhi setiap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan publik oleh para pejabat atau lembaga–lembaga negara.
- Menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan.
- Berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional.
- Memberikan bantuan sosial, memberikan rehabilitasi sosial, mela- kukan pembinaan kepada fakir miskin.
- Menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar.
- Mengembangkan IPTEK yang dilandasi iman dan takwa.
- Menciptakan  kerukunan umat beragama.
- Ikut serta memajukan pendidikan nasional.
- Merubah budaya negatif  yang dapat menghambat kemajuan bangsa.
- Memelihara nilai–nilai positif (hidup rukun, gotong royong, dll).
- Mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara.
- Menjaga keselamatan bangsa dari segala macam ancaman. 
                                                                Tujuan
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan mencakup dua hal, yaitu:
a.     Tujuan Umum
Untuk memberi bekal pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa
mengenai hubungan antara warganegara dengan negara dan PPBN, agar menjadi
warganegara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.


b.    Tujuan Khusus
1).   Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai warganegara RI terdidik dan bertanggungjawab.
2).   Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung­jawab berlandaskan Pancasila, konsepsi Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
3).   Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air serta rela ber­korban bagi nusa, bangsa dan negara.

5.  Kompetensi  yang Diharapkan
Bagi bangsa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan sudah demikian mendesak untuk dilakukan, mengingat dalam masa transisi menuju demokrasi saat ini di masyarakat banyak ditemukan  berbagai patologi sosial yang seringkali kontra produktif dengan upaya penegakan demokrasi itu sendiri. Beberapa patologi sosial itu antara lain:
a.     Hancurnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat.
b.     Memudarnya kehidupan kewargaan dan nilai-nilai komunitas.
c.     Kemerosotan nilai-nilai toleransi dalam masyarakat.
d.     Memudarnya nilai-nilai kejujuran, kesopanan dan rasa tolong-menolong
e.     Melemahnya nilai-nilai dalam keluarga.
f.     Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam  penyeleng­garaan pemerintahan.
g.     Kerusakan sistim dan kehidupan ekonomi.
h.     Pelanggaran terhadap nilai-nilai kebangsaan
Adapun kompetensi yang diharapkan dari mata kuliah Pen­didikan Kewarganegaraan antara lain :
a.     Agar mahasiswa mampu menjadi warganegara yang memiliki pilihan pandangan dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM.
b.     Agar mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya men­cegah dan menghentikan berbagai tindak kekerasan dengan cara cerdas dan damai.
c.     Agar mahasiswa memiliki kepedulian dan mampu ber­partisipasi dalam upaya menyelesaikan konflik di masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai moral, agama dan nilai universal.
d.     Agar mahasiswa mampu berpikir kritis dan obyektif terhadap persoalan kenegaraan, HAM dan demokrasi.
e.     Agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi dan solusi terhadap berbagai persoalan kebijakan publik.
f.     Agar mahasiswa mampu meletakkan nilai-nilai dasar secara bijak (berkeadaban)
(Sobirin Malian, 2003).

                                                              BAG II
- ISI / PEMBAHASAN
Pada hakekatnya proses yang mengandung ciri penduniaan itu telah melanda dunia jauh sebelum Perang Dingin usai. Hanya saja, selama ini para pengamat tidak menaruh perhatian karena  dianggap bukan sebagai gejala yang penting. Gejala awal terlihat dari mendunianya penye­baran jenis-jenis makanan tertentu, tingkah laku orang-orang perkotaan (metropolitan) dan meluasnya penerimaan terhadap mode pakaian dan tata rias. Semua itu mengarus dari masya­rakat dunia industri maju ke bagian dunia yang lain, didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan sistim komunikasi telemedia (Soerjanto, 1994:26-29).
Cepatnya komunikasi lewat teknologi elektronika membuat penyebaran informasi berjalan singkat dan  melampaui batas negara. Peristiwa di satu titik di muka bumi dalam waktu sekejap dapat diketahui oleh seluruh penjuru dunia. Orangpun mulai merasa bahwa dunia semakin “sempit”. Kemajuan IPTEK bidang informasi, komunikasi dan trans­portasi telah membuat dunia menjadi semakin transparan. Tidak ada lagi batas atau sekat antara bagian dunia yang satu dengan bagian yang lain, sehingga seolah-olah  terbentuk kampung sedunia tanpa mengenal batas negara.  
Namun demikian, hingga sedemikian jauh orang belum berbicara tentang globalisasi. Istilah “globalisasi” baru muncul setelah Perang Dingin usai. Ketika itu para politisi dan ilmuwan berlomba mengumandangkan istilah tersebut dengan interpretasi dan pemahaman sesuai tujuan masing-masing. Yang terjadi kemudian ialah paduan suara sejagad mendendangkan globalisasi.
Situasi jadi makin tambah semarak setelah AS sebagai pemenang dalam Perang Dingin dan secara psikologis merasa sebagai pihak yang berhak mengatur dunia, mulai gencar meng­kampanye­kan konsep globalisasi. Dengan dukungan negara-negara Barat, Washington mulai memaksakan “pembaharuan” melalui penerapan HAM, demokrasi dan sistim pasar bebas kepada negara-negara berkembang.
Ironisnya, di saat umat manusia yang telah muak dengan konfrontasi, peng­­gunaan kekerasan dan segala bentuk pemaksaan serta per­musuhan, menuntut dan mendambakan suatu tatanan Dunia Baru yang lebih menjamin kebebasan, kemanusiaan dan kesejahteraan, kenyataannya  justeru dihadapkan pada situasi  yang  makin tidak menentu.  AS yang selalu menepuk dada sebagai pelaku perdagangan bebas dan fair,   kadang bersikap kontroversial. Ini terbukti dari adanya pembentukan trade block,  seperti NAFTA bersama Kanada dan Meksiko, AFTA dan lain-lain, dan adanya berbagai ketentuan yang sifatnya protek­sionistis. Selain itu  AS yang selama  Perang Dingin selalu mengu­man­dangkan semboyan demokrasi dan kebebasan bagi bangsa-bangsa untuk nasib mereka sendiri, di sisi lain justeru  sering memaksa­kan kehendak dan mengetrapkan standar ganda. Ini terlihat dari perlakuannya terhadap Eropa Barat, Israel, Jepang, negara-negara Dunia Ketiga dan negara-negara eks Komunis.
Pertanyaannya ialah apakah “pembaharuan” model AS  itu benar-benar memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan aspirasi  masyarakat dunia ? Masalahnya setiap bangsa memiliki latar belakang sejarah dan budayanya sendiri. Padahal pembaharuan tanpa konsep yang jelas yang didasarkan pada kondisi dan situasi kultural, sosial dan politik serta sejarah bangsa yang bersangkutan justeru akan membuka peluang munculnya disintegrasi nasional. Pergolakan berdarah yang berlarut-larut di sejumlah negara Afrika, disintegrasi yang melanda Uni Sovyet dan Yugoslavia  menjadi contoh yang baik dalam kasus ini.    
Permasalahan lain, perkembangan globalisasi juga ditandai dengan kuatnya pengaruh lembaga-lembaga kemasyarakatan internasional dan campur tangan negara-negara maju dalam per­caturan politik, ekonomi, sosial-budaya dan militer global. Pada gilirannya hal itu tentu akan menimbulkan berbagai konflik kepentingan, baik antara sesama negara maju, negara maju dengan negara berkembang, sesama negara berkembang maupun antar lembaga-lembaga internasional. Lebih buruk lagi, isu globalisasi, yakni HAM, demokrasi, liberalisasi dan lingkungan hidup, juga sering digunakan oleh negara-negara maju untuk menyudutkan dan men­diskreditkan bangsa dan negara lain, khususnya negara-negara berkembang.
Ancaman lebih besar ialah bahwa globalisasi juga menciptakan struktur baru, yaitu struktur global, yaitu itu mem­pengaruhi struktur kehidupan, pola pikir, sikap dan tindakan masyarakat. Dengan kata lain globalisasi akan mempengaruhi kondisi mental spiritual bangsa. Walaupun sementara  orang menganggap bahwa  globalisasi adalah konsep “semu” sekedar pengisi kevakuman dunia pasca Perang Dingin (Cold War), akan tetapi kehadirannya menjadi sesuatu yang tak terelakkan. 
Untuk Indonesia, saat ini negara dan bangsa dihadapkan pada tiga permasalahan pokok, yaitu pertama, tantangan dan pusaran arus global­isasi; kedua,  masalah internal, seperti KKN, “destabil­isasi”, separatisme, teror dan sebagainya, dan ketiga, bagaimana menjaga agar “roh” reformasi tetap berjalan pada relnya. Atas dasar itu maka perlu ada langkah-langkah strategis, yaitu : pertama, reformasi sistem yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar dan perangkat legal sistem politik; kedua, reformasi kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik, dan  ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik yang lebih demokratis dan tertanamnya komitmen untuk lebih baik.
Apabila yang pertama dan kedua lebih didominasi oleh eksekutif dan legislatif, yang ketiga harus dilakukan oleh seluruh segmen masyarakat mulai dari rakyat awam hingga elit politik. Pemberdayaan ini mesti dilakukan secara massal, berkesi­nambungan dan dalam bingkai paradigma yang jelas. Adapun media yang dianggap kondusif untuk mencapai sasaran itu salah satunya ialah melalui pembelajaran civic education (pendidikan kewarga­negaraan). Di tingkat perguruan tinggi, nilai strategis dari pembe­lajaran ini ialah meningkatnya kesadaran komprehensif mahasiswa terhadap masalah bangsa. Pada gilirannya hal itu akan berujung pada  keterlibatan (partisipasi efektif) dan tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab untuk memperbaiki kualitas kehidupan sosial dan politik secara keseluruhan.

2.    Pendidikan Kewargaan : Belajar  dari  Banyak Negara
SETiap warganegara hakekatnya dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya. Untuk itu diperlukan bekal ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang ber­landaskan pada  nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa. Fungsinya adalah sebagai panduan dan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan nilai budaya bangsa menjadi pijakan utama, karena  tujuan pembelajaran ialah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, juga sikap dan perilaku cinta tanah air yang bersendikan budaya bangsa. 
Pendidikan Kewargaan (civic education) sesungguhnya bukanlah agenda baru di muka bumi. Hanya saja, proses globalisasi yang melanda dunia pada dekade akhir abad 20 telah mendorong munculnya pemikiran baru tentang pendidikan kewarganegaraan di berbagai negara. Di Eropa, Dewan Eropa  telah memprakarsai proyek demokratisasi untuk menopang pengem­bangan kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Hal yang sama juga terjadi di Australia, Canada, Jepang dan negara Asia lainnya.
Di Amerika Serikat pendidikan kewarganegaraan diatur dalam kurikulum sosial selama satu tahun, yang pelaksanaannya diserahkan kepada negara-negara bagian. Materi yang diajarkan diarahkan pada : 1). Bagaimana menjadi warga yang produktif dan sadar akan haknya sebagai warga Amerika dan warga dunia; 2). Nilai-nilai dan prinsip demokrasi konstitusional; dan  3). Kemampuan mengambil keputusan selaku warga masyarakat demokratis dan multikultural di tengah dunia yang saling tergantung. Di Australia, pendidikan kewarganegaraan ditekankan pada discovering democracy, yaitu: 1). Prinsip, proses dan nilai demo­krasi; 2). Proses pemerintahan; dan 3). Keahlian dan nilai partisipasi aktif  di masyarakat.
Di Negara-negara Asia, Jepang misalnya, materi pendidikan kewarganegaraan ditekankan pada Japanese history, ethics dan philosophy. Di Filipina materi difokuskan pada : Philipino, family planning, taxation and landreform, Philiphine New Constitution dan study of humanity (Kaelan, 2003:2). Hongkong menekankan pada nilai-nilai Cina, keluarga, harmoni sosial, tanggung jawab moral, mesin politik Cina dan lain-lain. Taiwan menitikberatkan pada pengetahuan kewarga­negaraan (disusun berdasar­kan psikologi, ilmu sosial, ekonomi, sosiologi, hukum dan budaya); perilaku moral (kohesi sosial, identitas nasional dan demokrasi); dan menghargai budaya lain. Thailand, berusaha :
1). Menyiapkan pemuda menjadi warga bangsa dan warga dunia yang baik; 2). Menghormati orang lain dan ajaran Budha; dan 3). Menanamkan nilai-nilai demokrasi dengan raja sebagai kepala negara. Beberapa negara yang lain juga mengembangkan studi sejenis, yang dikenal dengan nama Civic Education.
Dari sini terlihat bahwa secara umum pendidikan kewarganegaraan di negara-negara Asia lebih menekankan pada aspek moral (karakter individu), kepentingan komunal, identitas nasional dan perspektif inter­nasional, sedangkan Amerika dan Australia lebih difokuskan pada pentingnya hak dan tanggungjawab individu, sistim dan proses demokrasi, HAM dan ekonomi pasar (Sobirin, 2003:11-12).
B.   PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
1.   Pengantar Kewarganegaraan
      UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional Pasal 39 Ayat (2) menyatakan bahwa setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan di Indonesia wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Selanjutnya dalam Keputusan Mendikbud No. 056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa, ketiganya dimasukkan dalam kelompok Mata Kuliah Umum (MKU) dan wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi.
Di tingkat Pendidikan Dasar hingga Menengah substansi pendidikan kewarganegaraan digabungkan dengan pendidikan Pancasila sehingga menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarga­negaraan (PPKN). Untuk  tingkat Perguruan Tinggi, di masa Orde Baru substansi pendidikan kewarganegaraan  diberikan melalui mata kuliah Kewiraan yang lebih menekankan pada PPBN (Pendidikan Pendahuluan Bela Negara).
Dengan keluarnya Kepu­tusan Dirjen Dikti No. 267/DIKTI/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum, sebutan MKU diganti dengan MKPK (Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian) dan substansi mata kuliah Ke­wira­an direvisi dan selanjutnya namanya diganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan.  Substansi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan makin disempurnakan dengan keluarnya Surat Keputusan  Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan Dirjen Dikti  No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. 

                                                                             BAG III
- PENUTUP (Kesimpulan & Saran )

A . KESIMPULAN

Bagi bangsa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan sudah demikian mendesak untuk dilakukan, mengingat dalam masa transisi menuju demokrasi saat ini di masyarakat banyak ditemukan  berbagai patologi sosial yang seringkali kontra produktif dengan upaya penegakan demokrasi itu sendiri. Beberapa patologi sosial itu antara lain:
a.     Hancurnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat.
b.     Memudarnya kehidupan kewargaan dan nilai-nilai komunitas.
c.     Kemerosotan nilai-nilai toleransi dalam masyarakat.
d.     Memudarnya nilai-nilai kejujuran, kesopanan dan rasa tolong-menolong
e.     Melemahnya nilai-nilai dalam keluarga.
f.     Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam  penyeleng­garaan pemerintahan.
g.     Kerusakan sistim dan kehidupan ekonomi.
h.     Pelanggaran terhadap nilai-nilai kebangsaan
Adapun kompetensi yang diharapkan dari mata kuliah Pen­didikan Kewarganegaraan antara lain :
a.     Agar mahasiswa mampu menjadi warganegara yang memiliki pilihan pandangan dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM.
b.     Agar mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya men­cegah dan menghentikan berbagai tindak kekerasan dengan cara cerdas dan damai.
c.     Agar mahasiswa memiliki kepedulian dan mampu ber­partisipasi dalam upaya menyelesaikan konflik di masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai moral, agama dan nilai universal.
d.     Agar mahasiswa mampu berpikir kritis dan obyektif terhadap persoalan kenegaraan, HAM dan demokrasi.
e.     Agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi dan solusi terhadap berbagai persoalan kebijakan publik.
f.     Agar mahasiswa mampu meletakkan nilai-nilai dasar secara bijak (berkeadaban)
(Sobirin Malian, 2003).

B. SARAN 

Demi terwujudnya generasi penerus yang mempunyai jiwa kebangsaan  yang kuat ataupun jiwa nasionalisme mohon pelajaran pendidikan Kewarganegaraan bagi mahasiswa tetap dimasukan dalam kurikulum pendidikan sebagai mata kuliah dasar umum .
                                                                     BAG IV
A. DAFTAR PUSTAKA
1. staff.uny.ac.id/sites/default/.../Silabus%20Kewarganegaraan.Doc
2. http://emil.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/folder/0.1
3. http://ichnurezha.wordpress.com